Minggu, 21 November 2010

ETIKA DALAM AKUNTANSI (CREATIVE ACCOUNTING, FRAUD AUDITING/ACCOUNTING)

Etika membantu komunitas bisnis dengan memfasilitasi dan mendorong kepercayaan publik dengan produk dan jasanya. Dalam profesi akuntansi, tanggung jawab secara eksplisit dinyatakan dengan berbagai kode etik seperti yang diatur oleh AICPA. Prinsip pertama kode etik ini adalah “in carrying out their responsibilities as professionals, members should exercise sensitive professional and moral judgement in all their activities (Clark, 2003).
Alasan utama mempunyai pedoman etika bagi akuntansi adalah untuk membantu dalam proses pembuatan keputusan, tahu yang benar dan bukan hanya yang legal. Kode etik diperlukan sebagai pedoman dalam menangani situasi etis secara efektif.
Pendidikan etika bagi mahasiswa akuntansi pada tingkat minimal adalah memperkenalkan mahasiswa akuntansi dengan kode etik yang mengatur perilaku akuntan. Selanjutnya menurut Loeb (1988 dalam Huss et al., 1993) materi-materi akuntansi harus berkaitan dengan isu-isu moral. Menurutnya tujuan pendidikan etika akuntansi adalah:
(a) mengkaitkan pendidikan akuntansi dengan isu-isu moral;
(b) pengakuan isu-isu dalam akuntansi yang mempunyai implikasi etis;
(c) mengembangkan perasaan kewajiban moral atau pertanggungjawaban;
(d) mengembangkan kemampuan individu menghadapi dilema etis atau konflik etika;
(e) belajar menyesuaikan dengan ketidakpastian yang dihadapi profesi akuntansi;
(f) adanya perubahan dalam perilaku etika; dan
(g)mengapresiasi dan memahami sejarah serta komposisi semua aspek etika akuntansi dan hubungannya dengan bidang umum etika
Bok (1976 dalam Huss et al., 1993) menyatakan bahwa ketidakmampuan individu untuk mengidentifikasi dilema etika merupakan alasan mengapa seorang individu tidak bermoral. Dengan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendiskuskan situasi etis yang dihadapi oleh para profesional akan membuat mahasiswa menjadi lebih siap untuk mengidentifkasi keadaaan sulit terkait dengan etika. Setelah mengidentifikasi dilema etis, mahasiswa dapatmenentukan bagaimana cara merespon dan menyelesaikannya. Penyelesaian dilema etis didasarkan pada ide-ide moral individu.
Selanjutnya Cytron (2005) menambahkan materi etika yang sebaiknya dicantumkan kedalam kurikulum akuntansi berupa:
(a) sifat etika;
(b) perbedaan pendekatan etika berbasis aturan vs berbasis prinsip;
(c) kepatuhan dengan prinsip-prinsip fundamental etika seperti integritas, objektifitas, komitmen untuk kompetensi profesional, dan sifat kehati-hatian/due care dan kerahasiaan/confidentiality;
(d) perilaku profesional dan kepatuhan dengan standar teknis dan hukum;
(e) berbagai konsep seperti independensi, skeptisisme, konfik kepentingan, akuntablitas dan ekspektasi publik;
(f) tanggung jawab sosial;
(g) sifat tanggung jawab profesional;
(h) dilema etis dan konsekuensi perilaku tidak etis terhadap individu, profesi dan sosial; dan
(i) pengaturan korporasi dan kepentingan publik
Loeb (1988), Huss dan Patterson (1993) (dalam Richarson, 2004) menyatakan ada 5 tujuan yang dipertimbangkan dalam pendidikan etika akuntansi bila dikaitkan dengan independensi, yakni
(1) menstimulasi imajinasi mahasiwa terhadap isu-isu independensi;
(2) membantu mahasiswa dalam mengenali isu-isu independensi;
(3) memperoleh rasa tanggung jawab personal dalam diri mahasiswa tentang independensi;
(4) mengembangkan keahlian analitis mahasiwa agar dapat mengevaluasi isu-isu independensi; dan
(5) mengajari mahasiwa supaya dapat bertoleransi dengan yang pihak yang tidak setuju dan ambiguitas independensi.
Salah satu cara untuk mengajarkan etika pada mahasiswa akuntansi adalah dengan menggunakan pendekatan modular (Mantzke et al., 2005) seperti yang telah dilakukan oleh program Master of Accounting Science di Northern Illinois University. Model ini memberikan bekal pada para mahasiswa akuntansi untuk dapat mengembangkan strategi dan membuat keputusan bisnis yang solid yang didasarkan pada akumulasi pengetahuan akuntansi dan pemahaman terhadap isu-isu bisnis yang relevan.
Prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Tanggung jawab. Dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional, akuntan harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka.
2. Kepentingan masyarakat. Akuntan harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan mendahulukan kepentingan masyarakat, menghargai kepercayaan masyarakat, dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme.
3. Objektivitas dan Independensi. Akuntan harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam melakukan tanggung jawab profesional. Akuntan yang berpraktek sebagai akuntan publik harus bersikap independen dalam kenyataan dan penampilan pada waktu melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya.
4. Keseksamaan. Akuntan harus mematuhi standar teknis dan etika profesi, berusaha keras untuk terus meningkatkan kompetensi dan mutu jasa, dan melaksanakan tanggungjawab profesional dengan kemampuan terbaik.
"Creative accounting’ menurut Amat, Blake dan Dowd [1999] adalah sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan.
Stolowy dan Breton [2000] menyebut ‘creative accounting’ merupakan bagian dari ‘accounting manipulation’ yang terdiri dari ‘earning management’ , ‘income smoothing’ dan ‘creative accounting’ itu sendiri.
Dalam pemahaman mengenai ‘creative accounting’ ini bukan berarti akuntan ‘an sich’ yang memanfaatkan pemahaman akuntansi tersebut, tetapi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kekuatan untuk menggunakan ‘creative accounting’ tersebut, seperti manajer, akuntan, pemerintah, asosiasi industri dan sebagainya.
Manajer dalam bereaksi terhadap pelaporan keuangan menurut Watt dan Zimmerman [1986] digolongkan menjadi tiga buah hipotesis, yaitu bonus-plan hyphotesis, debt-covenant hyphotesis dan political cost hyphotesis.
Berbagai macam pola yang dilakukan dalam rangka ‘creative accounting’ menurut Scott [1997] sebagai berikut:
1. Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
2. Income minimization. Cara ini mirip dengan ‘taking bath’ tetapi kurang ekstrem. Pola ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak yang berkepentingan (aspek political-cost). Kebijakan yang diambil dapat berupa write-off atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, metode successfull-efforts untuk perusahaan minyak bumi dan sebagainya. Penghapusan tersebut dilakukan bila dengan teknik yang lain masih menunjukkan hasil operasi yang kelihatan masih menarik minat pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan dari penghapusan ini adalah untuk mencapai suatu tingkat return on assets yang dikehendaki.
3. Income maximization. Maksimalisasi laba dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, dimana laba yang dilaporkan tetap dibawah batas atas yang ditetapkan.
4. Income smoothing. Perataan laba merupakan cara yang paling populer dan sering dilakukan. Perusahaan-perusahaan melakukannya untuk mengurangi volatilitas laba bersih. Perusahaan mungkin juga meratakan laba bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan maksud sebagai penyampaian informasi internal perusahaan kepada pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan.
5. Timing revenue and expense recognition. Teknik ini dapat dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu berkenaan dengan saat atau timing suatu transaksi seperti adanya pengakuan yang prematus atas penjualan.

‘Creative accounting’ dapat dikatakan sebagai sebuah praktek akuntansi yang buruk, karena cenderung mereduksi reliabilitas informasi keuangan. Karena manajer memiliki asimetri informasi, yang bagi pihak di luar perusahaan sangat sulit diketahui, maka memaksimalkan keuntungan dengan ‘creative accounting’ akan selalu ada. Masalah sebenarnya adalah tidak diberikannya pengungkapan yang transparan secara menyeluruh tentang proses pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan kebijakan akuntansi (accounting policy). Akibatnya, laporan keuangan dianggap masih memiliki keterbatasan mendasar sehingga belum memadai untuk digunbakan dalam proses pengambilan keputusan.
Merujuk agency theory, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggungjawaban mereka kepada principal. Karena manajemen terlibat secara langsung dalam kegiatan usaha perusahaan maka manajemen memilikiasimetri informasi dengan melaporkan segala sesuatu yang memaksimumkan utilitasnya. ‘Creative accounting’ sangat mungkin dilakukan oleh manajemen, karena manajemen dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan leluasa untuk memilih alternatif metode akuntansi. Manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan merekayasa laba (earning management), karena laba seringkali menjadi fokus perhatian para pihak eksternal yang berkepentingan.
‘Creative accounting’ dan etika ‘Creative accounting’ mempunyai banyak konsekuensi. Dalam perspektif ekonomi, ‘creative accounting’ dipengaruhi oleh kerangka ekonomi yang bertujuan untuk self-interset. Hal ini mungkin sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum. Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ‘creative accounting’ memang sesuatu yang benar untuk dilakukan? Apakah maksud dan tujuan ‘creative accounting’ sehingga moral judgment-nya tergantung kepada tujuan ‘creative accounting’ itu sendiri. Persepsi ini harus diluruskan agar tidak menjadikan bahwa ‘creative accounting’ menjadi hal yang pro dan kontra.
Dalam pandangan orang awam ‘creative accounting’ dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga menyesatkan perhatiannya. Tetapi dalam pandangan teori akuntansi positif, sepanjang ‘creative accounting’ tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang harus dipersoalkan. Asalkan tidak ada asimetri informasi antara pelaku ‘creative accounting’ dan pengguna informasi keuangan.
Perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour) para manajer terjadi akibat adanya asimetri informasi dalam penyajian laporan keuangan tidak terlepas dari pertimbangan konsekuensi ekonomi. Perhatian kita mungkin diarahkan bagaimana mendorong keterbukaan informasi secara lebih luas sehingga inside information bukanlah sesuatu yang ‘tabu’ untuk diumumkan kepada khalayak. Karena dalam kerangka keterbukaan yang menyeluruh sebenarnya ‘creative accounting’ atau apapun namanya, tidak akan berpengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Karena semua pihak akan mempunyai informasi yang sama dan tidak ada asimetri informasi lagi. Sekali lagi, pentingnya mendorong keterbukaan dalam rangka good governance akan membawa dampak kepada ketersediaannya informasi sehingga akan mengeliminasi dan mengurangi dampak ‘creative accounting’.
FRAUD AUDITING pelaporan keuangan yang curang yaitu salah saji atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disenagaja dengan maksud menipu para pemakai laporan keuangan, caranya yaitu dengan cara:
1.pengabaian jumlah namun ini kurang lazim dilakukan
2.melebihsajikan laba yaitu dengan mengabaikan utang usaha dan kewajiban
3.merendahsajikan laba untuk mengurangi pajak penghasilan, membentuk cadangan laba untuk memperbesar laba diperiode mendatang, bisa berbentuk perataan laba, atau pengaturan laba.

Penyalahgunaan aktiva sering dilakukan oleh para pegawai dan orang lain dalam organisasi, dilakukan pada tingkat hierarki organisasi paling bawah sampai manajeman puncak yang mempunyai kewenangan yang lebih besar atas aktiva organisasi.

kondisi-kondisi penyebab kecurangan menurut sas 99 adalah tekanan,kesempatan dan rasionalisasi atau yang lebih dikenal dengan fraud triangle.

Pedoman bagi auditor dalam menilai resiko kecurangan menurut sas 99:
1. skeptisme profesional menurut sas 1 "auditor tidak mengasumsikan bahwa manajemen tidak jujur tetapi juga tidak mengasumsikan kejujuran absolute"
-pikiran yang selalu mempertanyakan
-evaluasi kritis atas bukti audit
2.sumber informasi untuk menilai resiko kecurangan
-komunikasi diantara tim audit
-pengajuan pertanyaan kepada manajeman
-faktor resiko
-prosedur analitis
-informasi lain
3.mengdokumentasikan penilaian kecurangan
-diskusi antar personel tim dll

Pedoman mengidentifikasi 3 unsur untuk mendeteksi kecurangan:
1.budaya jujur dan etika yang tinggi
2.tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko
3.pengawasan oleh komite audit

Respon auditor terhadap resiko kecurangan:
1.mengubah pelaksanaan audit secara keseluruhan
2.merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk menangani risiko kecurangan.
3.merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk menangani pengabaian pengendalian oleh manajemen.
4.memutahirkan proses penilaian resiko bidang resiko kecurangan

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Auditing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar